
Lailatul qadar adalah malam yang diburu oleh kaum muslimin. Sebab, malam
itu lebih baik dari seribu bulan. Ibadah di malam itu, dengan demikian,
lebih baik dari ibadah selama 83 tahun.
Lalu, bagaimana cara memburu lailatul qadar agar mendapatkannya?
Tersebab tanggalnya yang tidak dapat dipastikan, lailatul qadar menjadi
misteri tersendiri. Namun, ada tiga cara terbaik yang insya Allah
memudahkan mendapatkan lailatul qadar.
Menghidupkan malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir Ramadhan dengan ibadah
Ini merupakan cara terbaik ketiga. Didasarkan pada pendapat mayoritas
para ulama bahwa lailatul qadar turun pada malam-malam ganjil di 10 hari
terakhir Ramadhan. Yakni malam 21, 23, 25, 27 atau 29.
Para ulama tidak menyepakati satu tanggal tertentu meskipun ada hadits
yang menyebutkan bahwa lailatul qadar (pernah) terjadi pada malam 27.
Sebagian ulama Syafi’iyah berpendapat lailatul qadar jatuh pada malam
ke-21. Namun mayoritas ulama berpendapat lailatul qadar bisa jatuh pada
salah satu malam ganjil di 10 hari terakhir Ramadhan.
إِنِّى أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ، وَإِنِّى نُسِّيتُهَا ، وَإِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِى وِتْرٍ
“Sungguh aku diperlihatkan lailatul qadar, kemudian aku dilupakan –atau
lupa- maka carilah ia di sepuluh malam terakhir, pada malam-malam yang
ganjil” (Muttafaq alaih)
Oleh karena itu, untuk mendapatkan lailatul qadar, seorang muslim harus
menghidupkan malam-malam ganjil pada 10 hari terahir dengan ibadah.
Lebih utama lagi jika melakukan i’tikaf.
Menghidupkan 10 hari malam terakhir Ramadhan dengan ibadah
Meskipun para ulama sepakat lailatul qadar terjadi pada malam-malam
ganjil di 10 hari terakhir Ramadhan, sering kali di zaman sekarang
terjadi perbedaan awal Ramadhan. Karena ada perbedaan awal Ramadhan,
maka malam ganjilnya pun menjadi berbeda. Di saat sebagaian umat
meyakini malam itu malam ganjil, sebagian umat yang lain meyakini malam
itu adalah malam genap. Maka mengambil keseluruhan malam ganjil dan
malam genap pada 10 hari terakhir berpeluang lebih besar mendapatkan
lailatul qadar.
Rasulullah, istri beliau dan para sahabat beliau mencontohkan melakukan
i’tikaf pada 10 hari terakhir. Bukan hanya pada malam-malam ganjil.
Cara terbaik kedua ini, sesuai dengan nasehat Syaikh Yusuf Qaradhawi:
“Jika masuknya Ramadhan berbeda-beda di berbagai negara sebagaimana yang
kita saksikan saat ini, maka malam-malam ganjil di sebagian wilayah
adalah malam genap di wilayah lain. Sehingga untuk hati-hati, carilah
lailatul qadar ini di seluruh 10 malam terakhir Ramadhan.”
Menghidupkan seluruh malam Ramadhan dengan ibadah
Kendati mayoritas ulama berpendapat bahwa lailatul qadar turun pada
malam ganjil di 10 hari terakhir Ramadhan, ada juga yang berpendapat
kemungkinan turunnya lailatul qadar di malam lain di bulan Ramadhan.
Jika demikian halnya, maka cara terbaik adalah menghidupkan seluruh
malam Ramadhan dengan ibadah.
Bagaimana caranya? Pada 20 malam pertama, hidupkanlah malam Ramadhan
dengan ibadah, minimal pada sepertiga malam terakhirnya. Setelah itu,
pada 10 hari terakhir beriktikaf sebagaimana dicontohkan Rasulullah.
Mengapa untuk awal Ramadhan “cukup” di sepertiga malam terakhir? Sebab
seperti dijelaskan di surat Al Qadr, lailatul qadar terbentang hingga
terbitnya fajar. Kapan mulainya kita tidak tahu, tetapi kapan akhirnya
kita tahu: terbitnya fajar. Maka jika pun tak mendapat dari awal, kita
tidak ketinggalan dari bagian akhirnya.
Cara terbaik inilah yang dipraktikkan oleh para ulama seperti Imam
Syafi’i dan Imam Bukhari yang menghidupkan seluruh malam pada bulan
Ramadhan hingga beliau bisa mengkhatamkan Al Qur’an setiap malam.
Sedangkan Rasulullah, beliau tidak pernah melewatkan satu malam pun
kecuali menghidupkannya dengan qiyamullail. Bahkan dalam salah satu
hadits disebutkan betapa lamanya beliau shalat malam hingga kaki beliau
bengkak. Dalam hadits yang lain dijelaskan bahwa shalat malamnya
Rasulullah, beliau membaca surat Al Baqarah, Ali Imran dan An Nisa’
dalam satu rakaat. Masya Allah…
0 comments:
Post a Comment